© Sri Listyarini Posted 22 April 2004
Makalah Perorangan
Pengantar Falsafah Sains (PPS
702)
Sekolah Pasca Sarjana
/PSL - S3
Institut Pertanian
April 2004
Dosen : Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng
DEPOSISI ASAM
Oleh:
Sri Listyarini
P062034024
Abstrak
Deposisi asam merupakan polusi
udara yang disebabkan oleh adanya gas SOx dan NOx yang turun ke permukaan bumi,
sehingga dampak negatif polusi ini dirasakan baik pada ekosistem daratan
(terestrial) maupun ekosistem perairan (akuatik). Turunnya gas-gas ini dari
udara ke permukaan bumi dapat terjadi dengan 2 cara, yaitu deposisi cara basah
(wet deposition)
dan deposisi kering (dry deposition).
Sifat pencemaran deposisi asam berskala global, karena sumber pencemaran yang
berupa emisi gas SOx dan NOx di suatu
negara dapat terbawa oleh angin dan menyebabkan deposisi asam di negara
tetangganya. Karena itu penanganan deposisi asam tidak cukup hanya pada skala
individual atau industrial tetapi juga harus dilaksanakan secara global.
Pengetahuan mengenai sumber, dampak negatif dan cara penanggulangan deposisi
asam diharapkan dapat meminimalkan kualitas dan kuantitas deposisi asam.
Sejak
mengenal peradaban, manusia selalu berusaha untuk meningkatkan kualitas
hidupnya, yang berupa upaya untuk mendapatkan “kenyamanan hidup”. Diharapkan
kenyamanan hidup tersebut selain dapat dinikmati oleh dirinya sendiri, juga
dapat diberikan atau diwariskan kepada generasi mendatang. Usaha untuk
meningkatkan kualitas hidup manusia tidak pernah akan berhenti sampai akhir
zaman (Wardhana, 1995). Peningkatan kualitas hidup manusia
dilaksanakan dengan memanfaatkan pengetahuan dan teknologi untuk mengelola sumber
daya alam.
Perkembangan teknologi dan industri yang
pesat dewasa ini membawa dampak bagi kehidupan manusia, baik dampak positif
maupun negatif kepada manusia maupun lingkungannya. Dampak positif memang
diinginkan oleh manusia untuk kenyamanan hidupnya, tetapi dampak negatif
menjadi kekhawatiran seluruh umat manusia di dunia karena dianggap dapat
mengurangi kualitas dan kenyamanan hidup di bumi ini.
Pertumbuhan penduduk dunia yang disertai
dengan peningkatan kenyamanan hidup umat manusia diiringi dengan meningkatnya
konsumsi bahan bakar fosil menyebabkan adanya krisis ekologi berupa pencemaran
lingkungan yang berskala global. Salah satu bentuk pencemaran tersebut adalah deposisi asam (acid deposition).
Makalah
ini akan membahas tentang definisi dan penyebab terjadinya deposisi asam (acid deposition). Pada bagian berikutnya
dibicarakan mengenai sumber dan dampak negatif yang ditimbulkan oleh deposisi
asam baik di ekosistem air maupun darat. Deposisi asam merupakan pencemaran
yang bersifat global, karena itu perlu diketahui cara pengendalian deposisi
asam pada skala industri, individual maupun global, yang akan dibahas pada
bagian akhir makalah ini. Dengan memahami penyebab, sumber, dampak negatif dan
cara pengendalian deposisi asam di setiap lini diharapkan pencemaran deposisi
asam ini dapat diminimalisir.
Deposisi
asam adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan apa yang akan terjadi
apabila pencemar-pencemar yang bersifat asam di atmosfir jatuh atau turun ke permukaan
bumi (Pranoto, 2002). Proses jatuhnya asam dari atmosfir ke bumi yang dapat
berlangsung dalam 2 (dua) cara yaitu cara basah (wet) dan cara kering (dry).
Deposisi asam cara basah dikenal sebagai hujan asam, meskipun kenyataannya yang
dimaksud hujan asam juga termasuk kabut dan salju yang bersifat asam. Deposisi asam cara kering
mengacu pada proses jatuhnya asam ke bumi melalui gas dan debu atau partikel.
Hampir 50% dari deposisi asam terjadi secara kering (EPA, 2002).
Deposisi asam terjadi karena adanya gas
sulfur oksida (SOx) dan nitrogen oksida (NOx) di
atmosfir. Gas SOx terdiri dari gas SO2
dan SO3, dan gas NOx dapat berupa gas NO, NO2,
NO3, N2O, N2O3, dan N2O4,
serta N2O5 (Sawir, 1997). Hujan
asam terjadi karena adanya bantuan air yang menurunkan gas-gas tersebut ke
permukaan bumi. Sedangkan deposisi cara kering menurunkan gas-gas tersebut
dengan bantuan gravitasi bumi dan angin. Deposisi asam cara basah (wet deposition) dan kering (dry deposition) secara sederhana dapat
dilihat pada gambar berikut:
Gambar 1. Proses Deposisi Asam Cara Basah (wet deposition) dan Cara
Kering (dry deposition)
(Sumber: EPA, 2002)
Baik deposisi cara basah maupun cara kering
dari gas-gas SOx dan NOx akan bersifat asam. Karena
gas-gas tersebut jika bereaksi dengan air atau uap air di udara akan
menghasilkan asam dengan reaksi kimia sebagai berikut:
SO2 + H2O ↔
H2SO3 ↔ H+ + HSO3-
↔ 2H+ + SO32-
2NO2
+ H2O ↔ 2HNO3 ↔ 2H+ + 2NO32-
Reaksi kimia di atas memperlihatkan adanya ion H+
(yang menunjukkan sifat asam) yang dilepaskan (Sawir, 1997). Semakin besar
jumlah gas SOx dan NOx
yang diemisikan ke udara, semakin tinggi konsentrasi ion H+ yang
dilepaskan, berarti semakin besar derajad keasamannya.
Derajad keasaman dinyatakan dengan nilai pH (eksponen konsentrasi
Hidrogen), yang memiliki rentangan nilai 0 sampai dengan 14. Nilai pH = 0
menyatakan tingkat keasaman maksimum, sedangkan pH = 14 menyatakan tingkat basa
(lawannya asam) maksimum. Untuk materi yang bersifat netral nilai pH = 7. Jadi
semakin kecil nilai pH semakin asam sifat suatu materi. Air hujan yang normal
sebenarnya sudah bersifat agak asam, nilai pH-nya = 5,6. Sedangkan pada hujan
asam nilai pH bisa mencapai 2 atau 3 (The Green Lane, 2003). Air hujan yang
turun pada lokasi yang bersih atau belum tercemar tetap bersifat agak asam (pH
= 5,6), karena adanya kandungan karbon dioksida (CO2) di udara yang larut ke dalam air
hujan menjadi asam encer (Pranoto, 2002).
III.
Sumber Gas SOx dan NOx
3.1. Sumber Gas SOx
Gas SOx dihasilkan dari
pembakaran bahan bakar fosil yang berupa batubara. Batubara mengandung banyak
belerang atau sulfur (S), karena batubara merupakan fosil yang dihasilkan dari
dekomposisi tumbuhan. Sedangkan S termasuk salah satu unsur pembentuk biomasa
tumbuhan. Sulfur (S) apabila dibakar akan menghasilkan oksida sulfur berupa gas
SO2 dan SO3.
Sumber gas SO2 di Kanada dan
USA pada tahun 1998 dapat dilihat pada tampilan berikut (Sumber: Green Lane,
2003).
Gambar
2. Sumber Emisi SO2 di Canada dan United States pada 1998
Di Indonesia data mengenai sumber
emisi gas SOx tidak ada yang serinci data di Kanada atau Amerika.
Tetapi (Sawir, 1997) memberikan data sumber gas SO2 di Indonesia
pada tahun 1998/1999 sebesar 35.254 ton dari minyak bumi (petroleum) dan
71.755 ton dari minyak mesin disel, dan diprediksi pada tahun 2018/2019 sebesar
84.758 ton dari minyak bumi (petroleum) dan 201.697 ton dari minyak
mesin disel.
Gas SO2 dan SO3
mempunyai sifat kimia yang berbeda. Sekitar 1 – 5 % dari gas SO2
bereaksi dengan oksigen yang berada di udara menghasilkan gas SO3,
dengan reaksi kimia:
2SO2
+ O2 → 2SO3
Gas SO2 dan SO3 bereaksi dengan uap
air yang ada di udara menghasilkan asam sulfit dan asam sulfat (Akhadi, 1999),
dengan reaksi:
SO2 + H2O → H2SO3
(asam sulfit)
SO3 + H2O → H2SO4
(asam sulfat)
Sehingga kalau kedua gas tersebut terkondensasi di
udara dan kemudian jatuh ke permukaan bumi berupa hujan maupun partikel, maka
deposisi asam atau yang umum dikenal sebagai hujan asam tidak dapat dihindari.
3.2. Sumber Gas NOx
Gas
NOx dihasilkan dari temperatur tinggi, akibat pembakaran bahan bakar
fosil, yang menyebabkan terjadinya reaksi antara gas N2 dan O2
yang banyak terdapat di atmosfir (Soemirat, 2003). Diantara gas NOx,
yang berperan dalam deposisi asam adalah gas NO (nitrogen oksida) dan NO2
(nitrogen dioksida), terutama gas NO2.
Sumber emisi gas NOx di Kanada dan Amerika pada tahun 1998 dapat
dilihat pada gambar berikut: (Sumber: Green Lane, 2003).
Gambar 3. Sumber
Emisi NOx di Canada dan United States pada 1998
Seperti juga data mengenai sumber
emisi gas SOx, di Indonesia tidak ada data mengenai sumber emisi gas
NOx yang serinci data di Kanada atau Amerika. Tetapi (Sawir, 1997)
memberikan data sumber emisi gas NO2 di Indonesia pada tahun
1998/1999 sebesar 142.117 ton dari minyak bumi (petroleum) dan 116.602
ton dari minyak mesin disel, dan diprediksi pada tahun 2018/2019 sebesar
341.679 ton dari minyak bumi (petroleum) dan 327.758 ton dari minyak
mesin disel
Gas
NO2 dengan air akan bereaksi membentuk asam nitrat dengan reaksi:
2NO2
+ H2O → 2HNO3 (asam nitrat)
Gas NO dan NO2 yang jatuh ke permukaan
bumi, baik berupa hujan maupun partikel, akan meningkatkan derajad keasaman.
Deposisi asam berdampak pada peningkatan
derajad keasaman di permukaan bumi. Peningkatan derajad keasaman sering juga
disebut sebagai asidifikasi. Asidifikasi berpengaruh pada ekosistem di
permukaan bumi, baik ekosistem air maupun ekosistem darat.
Beberapa pengaruh asidifikasi atau deposisi asam
pada ekosistem air dapat dijabarkan sebagai berikut:
2.
Deposisi asam akan meningkatkan kadar
logam dalam ekosistem air. Larutan asam melarutkan lebih banyak logam
dibandingkan larutan yang bersifat netral. Pada suasana asam logam berat yang
bersifat racun (toksik), seperti merkuri (Hg) dan seng (Zn), cenderung
meningkat kadarnya. Tetapi logam yang paling banyak dianggap sebagai menurunnya
kualitas air akibat hujan asam adalah aluminium (Al). Pada pH rendah tingkat
racun (toksisitas) Al meningkat. Kadar Al yang tinggi akibat asidifikasi akan
mengganggu keseimbangan ion dan pertukaran gas yang terjadi pada insang
organisme akuatik (Effendi, 2003).
3.
Siklus makanan pada ekosistem air akan
terganggu oleh asidifikasi. Aluminium dapat membentuk senyawa kompleks dengan
fosfor (P), sehingga dapat menurunkan kadar P di air. Sedangkan P merupakan
salah satu unsur utama dalam pembentukan biomasa.
4.
Deposisi asam akan meningkatkan
kejernihan air. Air yang jernih pada ekosistem air tidak menunjukkan kualitas
air yang baik, melainkan lebih menggambarkan sifat steril dari perairan. Sifat
steril ini terjadi karena adanya pengikatan debris oleh senyawa kompleks logam
(lihat point 3. di atas).
5.
Asidifikasi dapat mengganggu proses
dekomposisi di air. Perairan yang bersifat asam akan mengubah komposisi
mikroba, sehingga dapat menghambat proses dekomposisi dan siklus makanan di
air.
6.
Deposisi asam juga mengganggu
produktifitas primer di ekosistem air. Hilangnya tumbuhan air dan mikroalga
yang sensitif akan menurunkan produktivitas autochtonous. Pada perairan
asam, hanya jenis tumbuhan dan mikroalga tertentu yang dapat bertahan hidup.
7.
Pada perairan asam, ikan dan beberapa
jenis zooplankton biasanya punah dan beberapa jenis avertebrata pemangsa akan
tumbuh. Sehingga hujan asam akan mengubah status trofik pada rantai makanan.
Pengaruh
deposisi asam pada ekosistem darat dapat dijabarkan sebagai berikut:
1.
Seperti pada organisme akuatik, organisme terestrial juga
akan mengalami kerusakan dengan adanya konsentrasi ion H+ yang cukup
tinggi di uap air, kabut, dan hujan. Kerusakan pada tanaman akibat hujan asam
terjadi dengan ditemukannya bintik-bintik kuning pada daun, yang merupakan
akibat dari efek “bleaching” larutan asam terhadap klorofil (Sawir,
1997).
2.
Udara yang tercemar SOx dapat mengganggu sistem
pernafasan. Gas SOx menyerang selaput lendir pada hidung,
tenggorokan, dan saluran pernafasan sampai ke paru-paru (Akhadi, 2000).
3.
Organ tubuh mahluk darat yang paling
rentan terhadap paparan gas NOx yang berlebihan adalah paru-paru.
Paru-paru yang terkontaminasi dengan gas NOx akan mengalami
pembengkakan. Hal ini disebabkan karena nitrat yang masuk ke dalam tubuh akan
diubah menjadi nitrit. Selanjutnya nitrit masuk dalam aliran darah dan bereaksi
dengan hemoglobin menghasilkan methemoglobin yang dapat merusak sistem
transportasi oksigen dalam darah.
4.
Nitrat yang berubah menjadi nitrit juga
dapat bereaksi dengan amina sekunder, dalam tubuh mahluk hidup, menghasilkan
nitrosamina. Senyawa ini bersifat karsinogenik, penyebab kanker, mutasi gen,
dan abnormalitas.
5.
Selain dari kerusakan pada sistem biotik
darat, adanya deposisi asam juga merusak sistem abiotik. Bangunan yang berupa
gedung, jembatan, patung dan sebagainya banyak mengalami perkaratan akibat
adanya hujan asam.
6.
Cat pada bangunan gedung seringkali
terdekomposisi oleh gas SOx dan warnanya berubah menjadi kusam
kehitaman, karena timbal oksida (PbO) sebagai bahan dasar cat bereaksi dengan
SOx menjadi PbS (Akhadi, 1999).
Adanya
emisi gas SOx dan NOx di suatu negara, belum tentu hanya menyebabkan
deposisi asam pada negara tersebut, tetapi bisa juga terjadi di negara-negara
tetangganya. Hal ini disebabkan oleh adanya angin yang dapat membawa partikel
gas SOx dan NOx sampai beratus-ratus kilometer dari
sumbernya (Akhadi, 1999). Sehingga deposisi asam menjadi salah satu isu
lingkungan global. Beberapa cara pengendalian deposisi asam agar kualitas dan
kuantitas kerusakan lingkungan bisa diperkecil adalah sebagai berikut:
5.1.
Metode Desulfurisasi
Dewasa
ini telah dikembangkan sistem peralatan berteknologi tinggi yang mampu
memisahkan oksida sulfur dari gas buangan yang dikeluarkan melalui cerobong,
baik dari pembangkit tenaga listrik maupun industri yang menggunakan batu bara
sebagai bahan bakarnya. Metode ini dikenal sebagai
desulfurisasi, yang dapat dilakukan dengan metode basah (wet method) dan metode kering (dry
method) (Akhadi, 1999). Cara pertama disebut metode basah karena
menggunakan cairan sebagai media untuk menyerap sulfur. Sedangkan cara kedua disebut
metode kering karena menggunakan zat padat seperti oksida logam dan karbon
aktif sebagai pengikat sulfur.
Sebagian besar peralatan desulfurisasi
yang dioperasikan di akhir abad 20 menggunakan metode basah. Salah satunya
adalah alat desulfurisasi yang menggunakan penyerap batu kapur (lime stone) atau Ca(OH)2. Gas
buang dari cerobong dimasukkan ke dalam alat sehingga SO2
bereaksi dengan Ca(OH)2 dan diperoleh hasil pemisahan berupa gips (gypsum). Gas buang yang keluar dari sistem desulfurisasi sudah terbebas
dari oksida sulfur, yang merupakan salah satu penyebab deposisi asam. Di
Jepang, teknologi Flue Gas Desufurizer
(FGD) dipasang pada setiap cerobong asap pembangkit tenaga listrik. Alat
FGD ini dapat menghilangkan gas sulfur oksida sampai dengan 95% (KLH, 2004).
5.2.
Metode Plasma
Plasma
adalah wujud keempat dari wujud zat klasik: padat, cair, dan gas (Sugiarto
dalam Kompas, 2002). Plasma disini bukan mempunyai arti
seperti kata plasma darah, yang umum digunakan berkaitan dengan kata plasma
dalam bidang biologi. Plasma yang merupakan wujud zat keempat ini ditemukan
tahun 1928 oleh ilmuwan Amerika, Irving Langmuir (1881 – 1957) dalam
eksperimennya yang menggunakan lampu tungsten filamen.
Plasma dibuat dengan memanfaatkan
tegangan listrik. Caranya, 2 (dua) elektroda diletakkan saling berhadapan di
udara bebas. Seperti kita ketahui udara bersifat sebagai isolator, yaitu materi
yang tidak menghantarkan listrik. Namun apabila pada kedua elektroda tadi
diberikan tegangan listrik yang cukup tinggi (~10kV), sifat konduktor akan
muncul pada udara tersebut, yang diikuti dengan mengalirnya arus listrik (electrical discharge), fenomena ini
disebut electrical breakdown.
Mengalirnya arus listrik menunjukkan
akan adanya ionisasi yang mengakibatkan terbentuknya ion serta elektron pada
udara yang berada diantara dua elektroda tadi. Semakin besar tegangan listrik
yang diberikan pada elektroda, semakin besar jumlah ion dan elektron yang
terbentuk. Aksi-reaksi yang terjadi antara ion dan elektron dalam jumlah besar
ini akan menimbulkan kondisi udara diantara dua elektroda ini netral, inilah
yang disebut plasma. Singkat kata plasma adalah kumpulan dari elektron,
ion, dan atom bebas (Sugiarto dalam Kompas, 2002).
Tahun 1986 Seiichi Masuda dari Tokyo
University mempublikasikan teknologi plasma untuk mengatasi kandungan gas NOx dan SOx dari
asap pembakaran pabrik. Prinsip dari teknologi plasma dalam mengurangi
konsentrasi gas NOx dan SOx adalah mereaksikan gas NOx dan SOx dengan spesies aktif yang berupa elektron, ion, dan
atom bebas dalam plasma. Teknologi plasma memiliki beberapa kelebihan, yaitu
pembuatan dan pemeliharaannya sangat mudah, namun memiliki efektivitas
penguraian gas NOx dan SOx yang cukup tinggi.
5.3.
Pengendalian
Deposisi Asam Secara Individual
Kedua
metode di atas dilakukan pada skala industrial. Sebenarnya deposisi asam juga
dapat dikurangi oleh setiap individu dengan cara (Pranoto, 2002):
1.
menanami halaman rumah dengan pepohonan,
2.
menggunakan peralatan yang menggunakan
energi ramah lingkungan seperti matahari, angin, dan air,
3.
menggunakan kendaraan secara gabungan
untuk mengurangi pembakaran BBM yang merupakan sumber pencemaran,
4. membuang sampah pada
tempatnya, dan
5. tidak melakukan pembakaran
sampah.
5.4.
Pengendalian Deposisi Asam Secara Global
Karena
deposisi asam merupakan pencemaran lingkungan yang bersifat global, maka telah
dilakukan beberapa kesepakatan antar negara untuk memonitor serta mengurangi
kualitas dan kuantitasnya, yaitu:
1. Tahun 1972 Swedia mengadakan konferensi
lingkungan hidup dunia (PBB) di Stockholm.
2.
Tahun 1977 ECE (the Economic Commision for
3. Tahun 1984 konvensi diadakan di Ottawa:
sepuluh negara sepakat untuk mengurangi emisi gas SO2 sebesar 10%.
4. Tahun 1985 Helsinki Protocol yang ditandatangani
oleh 21 negara menetapkan pengurangan emisi sulfur sebanyak 30%.
5. Tahun 1988 Sofia Protocol yang ditandatangani oleh 23 negara, mengatur emisi gas nitrogen oksida (NOx).
6.
Tahun 1995
7. Tahun 1997, the Convention of Transboundary Air Pollution diputuskan di Jenewa dan ditandatangani oleh 35 negara peserta konvensi.
Adanya emisi gas SOx dan NOx
yang berasal dari pembakaran bahan bakar fosil menyebabkan pencemaran udara.
Jika gas-gas tersebut turun ke permukaan bumi, maka terjadi deposisi asam.
Deposisi asam dapat berlangsung dengan bantuan air hujan atau uap air atau
salju yang ada di udara dan disebut sebagai deposisi basah atau dikenal dengan
hujan asam. Sedangkan partikel gas SOx dan NOx yang jatuh
karena adanya gravitasi bumi disebut deposisi asam cara kering.
Deposisi asam cara basah maupun kering
sama bahayanya bagi kehidupan di permukaan bumi. Efek negatif dari deposisi
asam tidak hanya terjadi bagi manusia dan lingkungan biotiknya, tetapi juga
bagi lingkungan abiotik. Bagi manusia dan mahluk hidup, pencemaran dari
bahan-bahan yang bersifat asam menimbulkan masalah pada pernafasan, kanker dan
berbagai masalah kesehatan lainnya. Sedangkan bagi tumbuhan deposisi asam ini dapat
merusak klorofil yang sangat dibutuhkan dalam proses fotosintesa. Pada sistem
abiotik, deposisi asam menyebabkan perkaratan dan merusak lapisan cat.
Yang lebih merepotkan lagi, deposisi
asam ini dapat terjadi pada daerah yang tidak memiliki sumber emisi gas SOx
dan NOx, karena partikel-partikel gas di udara bisa terbawa angin
dan jatuh pada tempat yang cukup jauh. Hal inilah yang menyebabkan deposisi
asam menjadi salah satu pencemaran yang bersifat global. Penanganan deposisi
asam pada skala industri dapat dilakukan dengan metode desulfurisasi dan metode
plasma. Dalam skala individu, pengurangan deposisi asam dapat dilakukan dengan
meminimalkan penggunaan sumber energi yang berasal dari pembakaran bahan bakar
fosil. Sedangkan dalam skala global perlu dilakukan kesepakatan-kesepakatan
antar negara untuk memantau dan meminimalkan deposisi asam.
Meskipun sudah dipahami apa penyebab
deposisi asam dan darimana sumbernya serta dampak negatifnya. Tetapi kebutuhan
akan energi dari pembakaran bahan bakar fosil belum dapat digantikan sepenuhnya
oleh sumber energi lain. Sehingga penanggulangan mulai dari tingkat individu,
industri, maupun global yang berupa kesepakatan antar negara tidak mungkin
menghilangkan sama sekali deposisi asam melainkan sebagai usaha untuk meminimalkannya.
Daftar Pustaka
1.
Akhadi,
Mukhlis, 1999, Desulfurisasi Mencegah Hujan Asam: http://www.elektroindonesia.com/elektro/ener28.html
, dikunjungi pada tanggal
2.
Akhadi, Mukhlis,
2000, Listrik Murah atau Udara Bersih: http://www.elektroindonesia.com/elektro/ener34.html
, dikunjungi pada tanggal
3.
EANET,
2002, EANET (Monitoring Network in
4.
EANET,
2003, Future Development of EANET
(draft), The Fifth Session of the Intergovernmental Meeting on the Acid
Deposition Monitoring Network in East Asia, Pattaya, Thailand.
5.
EANET,
2003, Report of the Session, The
Third Session of the Scientific Advisory Committee on the Acid Deposition Monitoring
Network in East Asia, Pattaya, Thailand.
6.
EANET,
2003, Report of the Inter-laboratory
Comparison Project 2002 on Wet Deposition, Acid Deposition and
7. Effendi, Hefni,
2003 Telah Kualitas Air: Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan
Perairan, Kanisius, Yogyakarta.
8.
9.
Hamidun,
Marini Susanti, 2003, Kumpulan Makalah
Perubahan Lingkungan Global dan Kerjasama Internasional: Acid Deposition, Bahan kuliah,
PSL-sekolah pascasarjana IPB,
10.
Hujan
Asam Ancam Kota Besar, 2003,: http://www.suarapembaruan.com/news/2003/08/08/Kesra/kes01.htm
, dikunjungi pada tanggal
11. Kementerian
Lingkungan Hidup (KLH), 2004, “Pengendalian
Pencemaran Udara”, KLH, Jakarta.
12. Kompas, 14
November 2002, “Atasi Polusi dengan
Plasma, oleh: Anto Tri Sugiarto”, http://www.istecs.org/Publication/Artikel/AntoTS-Kompas14Nov2002.htm, dikunjungi
pada 23/03/2004.
13.
Pranoto,
Ina Binari, dkk., 2002, “Deposisi Asam”,
Kementrian Lingkungan Hidup, Indonesia, dan Acid Deposition and Oxidant
Research Center, Japan.
14.
Sawir,
Ismed, 1997, Acid Deposition: Measures for Limiting its Effects on Freshwater
Ecosystem and its Case in Indonesia, Jurnal Studi Indonesia, vol. 7, No. 1,
Pusat Studi Indonesia - Universitas Terbuka, Jakarta.
15. Soemirat, Juli,
2003, “Toksikologi Lingkungan”,
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
16.
The
Environmental Literacy Council, 1999, Acid Rain: http://www.enviroliteracy.org/article.php/2.html
, dikunjungi pada tanggal
17.
U.S.
Environmental Protection Agency (EPA), 2002, EPA’s Clean Air Markets - Acid
Rain Program: Overview: http://www.epa.gov/airmarkets/arp/overview.html
, dikunjungi pada tanggal
18.
U.S.
Environmental Protection Agency (EPA), 2002, EPA’s Clean Air Markets
–Environmental Issues: http://www.epa.gov/acidrain/index.html
, dikunjungi pada tanggal
19.
Wardhana,
Wisnu Arya.,(1995), Dampak Pencemaran
Lingkungan, Andi Offset,